"itu tempat apa?"
"semi-bar gitu,"
"kamu mabuk?"
"ya enggak lah, sayang,"
"nggak usah ya. tunggu aku, kita makan bareng aja di rumah ya,"
aku bisa saja marah. karena laki-laki ini melarangku pergi--sesuatu yang tidak sekali pun pernah ia lakukan. tapi seperti biasanya, marah tidak pernah jadi keahlianku. dan dalam hal ini, marah menjadi hal yang tidak pada tempatnya.
aku justru menurut, menunggu ia menjemputku seperti hari-hari sebelumnya. lalu kami pulang dan makan bersama di rumah.
hari ini, kukatakan padanya saat perjalanan ke kantor, aku mungkin akan pulang lebih malam. karena rekan kerjaku berulangtahun dan mungkin aku akan ikut dalam perayaan kecilnya.
"nanti kamu kabarin aja ya tempatnya di mana. nanti aku jemput. asal jangan mabuk ya,"
ia mengatakan hal itu bukan karena aku suka mabuk. hanya kukenali kekhawatiran dan kasih sayang luar biasa di nada bicaranya. atau barangkali ia tahu betul bahwa aku sudah setiap hari mabuk dengan apa yang kami sebut cinta. maka mabuk-mabuk lainnya menjadi hal yang sama sekali tidak perlu.
Jakarta,
dalam keadaan setengah mengantuk
menunggu ia di lobi kantor