jakarta sedang hujan ketika sesuatu tiba-tiba datang menyalamiku. ia memperkenalkan diri sebagai sedih—aku telah mengenal banyak sedih, di setiap kota yang kusinggahi, di tiap pasang mata yang dikukenali—tapi yang ini, ia terasa asing.
sulit menerima ia sebagai sedih. sebab kuyakin ia bernama lain.
kuperhatikan dari bibirnya tidak berhenti dongeng-dongeng tentang bunga matahari yang mendadak layu, api yang melahap habis bangunan tua di pusat kota, juga anjing tetangga yang selalu melolong pukul tiga pagi.
sudah habis satu musim, tapi hujan belum reda. pun dongeng-dongeng aneh yang karenanya kutahu bahwa ia hanyalah kumpulan kecewa, amarah, sumpah serapah yang sudah tertahan di ujung lidah.
benar, sudah benar ia menamai dirinya sedih.