Beri tahu aku, Tuan. Pintu mana yang hendak kau tuju? Biar kurayu
Tuhan agar membukakannya untukmu. Pertama-tama aku hanya bisa menunggu. Barangkali,
kau butuh aku untuk temukan kuncinya. Maka, saat ini aku tengah berupaya, Tuan.
Memperkaya pikiranku, mempertajam pandanganku supaya mampu kiranya aku turut
andil di tiap-tiap bahagia yang kau sesap.
Katakan padaku, Tuan. Apakah kebaikan hati tak cukup untuk
menyentuh sanubarimu? Namun, aku pun tak sesuci itu. Aku bahkan lebih kotor
dari yang kusadari sebelumnya. Dengki, dendam, prasangka, masih kerap
menyelip-nyelipkan dirinya di kalbuku yang biru. Diksi yang tak pantas masih
sering lolos dari mulutku yang kau kira polos. Tapi untukmu, Tuan, patut kuberbenah
hati. Agar patut pula namaku kau sebut dengan tulus saat akad nanti.
Tidak apa-apakah, Tuan, jika aku tak punya apa pun untuk kau
banggakan, selain jiwa yang setabah hujan bulan Juni, kata Tuan Sapardi. Tidak wajahku,
tidak pula tubuhku.
Lalu, apakah kau butuh ketenaran, serta puja-puji dari sesama
makhluk, untuk menjejaki dunia yang bagiku kian palsu ini? Maaf, Tuan. Lagi-lagi, yang demikian
juga tak ada pada diriku. Keliru jika kau mencarinya dalam diriku.
Pertanyaan terakhir, Tuan. Apakah bagimu memang kecantikan
paras, ketenaran bahkan harta jualah yang pada akhirnya memenangkan peperangan
antarpesona dalam diri?
Jika demikian, berhentilah membuatku
terpesona, Tuan.
0 comments